Formasi Gemilang Kepemimpinan Menuju Petiga Menang

 

Muktamar, kita pahami sebagai tempat dan waktu atau majelis yang bersifat konferensial, ke-konggres-an: suatu konggres yang tujuannya menghasilkan keputusan-keputusan resmi suatu organisasi atau partai sebagai acuan jalannya kepemimpinannya.

Baru-baru ini PPP selesai menyelenggarakan Muktamar, diantara hasilnya adalah terpilihnya Dr. Ir. Suharso Manoarfa menjadi ketua umum partai berlambang Ka’bah itu. Sebagai partai berasas islam, ada beberapa catatan yang bisa kita buat untuk dasar memahami masa depan partai “hijau” ini.

Terkait PPP sebagai partai lama yang sudah puluhan tahun mengabdikan diri dalam sejarah perhelatan politik Islam dan politik nasional. Bahwa partai berasas islam yang lahir pada 5 Januari 1973 ini merupakan partai hasil fusi dari 4 partai islam, yakni NU (Nahdlatul Ulama), PSII (Partai Sarikat Islam Indonesia), Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan Parmusi (Partai Muslimin Indonesia).

Kondisi itu tentu jelas tampak bahwa secara kesejarahan, PPP memiliki konstituen yang besar yang berasal dari massa grass root ‘anak-anak ideologis’ keempat parpol diatas.

Situasi kontemporer saat ini memang berubah dan tidak lagi sama persis dengan peta politik jaman ketika PPP lahir. Ada yang tetap bertahan dan ada pula yang luntur (untuk tidak menyebut: lenyap), ada yang tetap eksis meski berubah format dan strukturnya. NU masih berdiri kokoh, dengan merubah wujudnya menjadi jam’iyah (organisasi) sosial keagamaan yang tidak lagi berpolitik praktis sebagai partai.

Bicara tentang ormas keagamaan, dan perannya dalam pergerakan Nasional kita, tentu tidak bisa dilepaskan dari kukuhnya kultural umat Islam khususnya NU dan Muhammadiyah. 2 Ormas besar ini dianggap terbesar mengisi kehidupan umat Islam Indonesia. Jika ditakar, NU memang lebih besar secara massa. Wacana Islam Nusantara, sebagai salah satu produk wacana khas NU, secara riil dibutuhkan dalam penguatan nasionalisme dan keindonesiaan, dari sisi tradisi dan kebudayaan.

Maka, tidak menutup kemungkinan partai Islam hari ini, yakni PPP, dan partai nasionalis berbasis massa umat Islam, seperti PKB dan PKS,–tidak bisa tidak–mengelaborasi dan memodifikasi wacana khas NU itu dan disesuaikan dengan garis perjuangannya masing-masing. Adalah beresiko besar jika partai Islam berkonfrontasi dengan wacana ke-NU-an, terutama gagasan “ideologi” Islam Nusantara.

Maka, adalah sebuah pilihan strategis jika terpilihnya Suharso Manoarfa yang notabene kuat secara politik, dan dianggap memiliki sumber daya politik yang besar, dipadukan dalam formasi yang baru dengan tipikal politisi yang berkultur nahdliyin sebagai Sekjen-nya.

Penting sekali dipertimbangkan, bahwa tantangan besar bagi PPP adalah mampu bertahan dan beradaptasi dengan wacana Islam kontemporer, untuk menjadi spirit perjuangan politiknya. Jika di tataran ideologisasi dan idealisasi saja tidak mampu membangun infrastruktur politik yang adoptif dan adaptatif, berat kiranya PPP mampu bertahan dan ‘selamat’ dari resiko kebangkrutan politik, tersingkir dari percaturan politik nasional akibat tidak lolos “parliamentary threshold” (ambang batas parlemen).

Pilihan tepat dan menjanjikan, bagi tim inti DPP PPP, adalah bagaimana ia bisa memiliki seorang Sekjen berkultur NU di satu sisi, ‘berdarah daging’ trah ulama/kiyai di sisi lain, luas dan luwes dalam komunikasinya dengan jaringan pesantren. Prasyarat ini, jika kita petakan teliti, ada pada beberapa figur, yakni Taj Yasin, Arwani Thomafi, Zainut tauhid, Ahmad Baidlowi, dan Kiyai Mustofa Aqil Siroj (adik kandung Ketum PBNU Kyai Sa’id Aqil Siroj).

Kalau saja PPP tidak berhasil memilih figur tepat [diantara 5 figur diatas] untuk posisi Sekretaris Jenderal, maka bisa diprediksikan amat berat dan sulit langkahnya membangun dan mengkonsolidasi-kembali massa konstituen akar-rumputnya yang hilang dalam 20 tahun terakhir ini.

Karena, bagaimanapun juga, secara fakta di lapangan–umat Islam Indonesia yang besar massa dan pengaruhnya (kuantitas dan kualitasnya), adalah massa Nahdliyin yang bernaung di bawah kebesaran NU.

Wallahu a’lamu bis showab

(oleh : M. Tijani Abu Na’im, aktifis muda NU yang berpolitik di PPP)